(Opini) Jokowi versus Prabowo: Menegakkan Ranah Akal Sehat
By Admin
Oleh: Makmur Gazali*
nusakini.com - TANGGAL 17 April 2019 mendatang rakyat Indonesia kembali meletakkan dirinya sebagai pemegang penuh hak atas kedaulatan negeri ini.
Di hari itu, momen masa depan bangsa ini untuk 5 tahun ke depan kembali dipertaruhkan melalui Pemilihan Presiden (Pilpres). Nasib bangsa benar-benar ada di ujung jari kita untuk ‘menunjuk’ siapa yang bakal diberi mandat mengelola ratusan juta mulut rakyat Indonesia.
Dalam konteks itu, nasib bangsa menjadi tanggungjawab kita dan kekeliruan dalam memilih menjadi ‘beban’ kesalahan yang harus ditanggung rakyat bukan hanya selama 5 tahun, namun selama 5 generasi.
Barangkali inilah konsekuensi yang harus kita pahami dari konsensus pilihan kita dalam sebuah sistem demokrasi. Mengutip seorang filsuf (Plato), bahwa dalam alam demokrasi, bahkan seorang begundal pun bila kita salah menjatuhkan pilihan, bisa menjadi pemimpin bangsa.
Patut diketahui, dalam ranah ideal, sebuah sistem demokrasi selalu membawa beberapa prasyarat. Pertama, sistem ini bakal sehat ketika seluruh elemen penopangnya seperti rakyat, penyelenggara negara, elit partai politik serta penegak hukum yang menghidupinya berada dalam satu gelombang frekuensi kesadaran yang sama. Puncaknya adalah sikap rasional dan kecerdasan (literasi) politik bangsa.
Kedua, sistem demokrasi yang bertumbuh sehat senantiasa digerakkan oleh tingkat kesejahteraan yang senantiasa berproses menjadi semakin baik, semakin merata dan semakin adil baik dalam cakupan kewilayahan maupun dalam jenjang kerja yang berdasar meritoktasi. "Siapa yang menanam dia yang menuai hasil".
Ketiga, radar kesehatan demokrasi juga sangat ditentukan oleh sistem dan penegakan hukum (law enforcement) yang baik dan berkeadilan. Hukum menjadi pengawal demokrasi yang paling utama dalam menegakkan aturan main serta memberi rasa aman dan rasa keadilan rakyat.
Pada bingkai ideal seperti itulah kita menaruh harapan akan Indonesia yang semakin dewasa dalam berpolitik. Dalam konteks itu pula kita terus bekerja mempersempit jurang antara das sein dan das sollen. Antara harapan dan kenyataan. Antara impian dan realitas.
Sejarah pergulatan menegakkan pilar demokrasi memang bukanlah pekerjaan gampang san sekali jadi. Di sana, sejarah senantiasa menjadi medan pembelajaran kita. Menjadi bangsa yang tidak terjebak dalam penyakit ‘amnesia sejarah’ dan menjadi bangsa pembelajar yang mampu memetik kristal-kristal makna dari setiap peristiwa sejarah.
Dengan demikian, ada satu hal yang mencolok dalam setiap gerak langgam demokrasi sebuah bangsa, yakni bahwa sistem demokrasi dalam konteks pemilihan pemimpin, kita tidak mencari sosok yang sempurna. Dalam pemilihan pemimpin kita tidak bermimpi untuk memilih seorang superman, namun kita memilih sebuah potensi, sebuah harapan, sebuah niat yang tulus serta sebuah keinginan kuat untuk bekerja demi semesta kesejahteraan rakyat.
Dalam ranah pemilihan dengan basis demokrasi, kita memilh pemimpin yang kemungkinan terburuknya paling minim. Yang kemungkinan daya merusaknya paling kurang.
Untuk semua itu, kita sangat membutuhkan common sense, sebuah akal sehat yang dilandasi oleh referensi pribadi masa lalu dan track record yang tak bias oleh sikap emosional apalagi sebentuk kebencian.
Di sana, akal sehat yang menuntun kita untuk memilah dan memilih adalah akal sehat yang membumikan tanggungjawab pada kemaslahatan rakyat, bukan berdasar pada kepentingan pribadi, kelompok dan golongan. Akal sehat yang bening dari campur tangan kebencian, fitnah, hoaks dan fake news. Di sinilah kecerdasan (literasi) politik dan rasionalitas rakyat sangat diperlukan.
Memasuki masa puncak pemilihan presiden, nama yang disodorkan kepada kita hanya dua, yakni Jokowi dan Prabowo. Kedua tokoh ini bukanlah nama baru dalam lingkar politik Indonesia. Jejak rekam dan kiprah kemaslahatan yang dimiliki mereka jelas banyak tercatat bila kita mau sedikit saja berusaha melacaknya dengan jernih, tanpa bias kebencian di dalamnya.
Dari kedua tokoh yang jelas hanya manusia biasa tersebut, pilihan yang paling kecil kemungkinan daya rusaknya bisa kita pilah dan pilih. Satu contoh kecil terkait bagaimana tegaknya demokrasi di negeri ini di masa depan adalah apakah dari jejak rekam yang tercatat, ada kandidat yang punya potensi menjelma menjadi seorang diktator. Atau dari sudut ekomoni, apakah ada jejak rekam dari kandidat yang punya potensi hanya memanfaatkan kekuasaannya demi memperoleh keuntungan ekonomis dengan menguasai sumberdaya ekonomi negara melalui penguasaan lahan yang demikian besar? Dan lain-lain.
Dengan begitu kita memilih bukan seolah kita hanya menjagokan kesebelasan favorit kita seperti dalam sepak bola, namun pilihan kita adalah sebuah tanggungjawab sebagai warga untuk ikut menentukan baik-buruknya masa depan negeri ini. Mari memilih dengan menegakkan akal sehat. (*penulis adalah jurnalis)